KINI saatnya calon mahasiswa baru (camaba) bersiap-siap menghadapi dunia kampus, khususnya yang lulus menempuh ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) atau tes masuk perguruan tinggi (PT) lainnya. Untuk itu, seperti biasanya civitas akademik PT mempersiapkan Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) bagi camaba. Tetapi dalam perkembangannya Ospek justru menjadi ajang yang mempertunjukkan aksi kekerasan. Proses sosialisasi kampus yang disetting sedemikian rupa oleh PT justru menjadi panggung peloncoan yang tidak manusiawi. Baik kekerasan itu dengan dalih sebagai hukuman (punishment) atau sebagai bahan pengajaran kedisiplinan kepada mahasiswa baru.
Sehingga, kadang kita berpikir bahwa Ospek serasa perlu untuk ditiadakan dengan pertimbangan kekerasan demi kekerasan yang dialami pelajar atau mahasiswa baru semasa orientasi kampus. Di situ banyak kita jumpai aksi-aksi penggojlokan yang bernuansa kekerasan layaknya dalam dunia militer, yang sebenarnya hal itu justru mencerminkan dunia pendidikan kita yang sarat dengan perbuatan anarkis.
Di samping itu, pemerasan dari segi ekonomi juga memberatkan peserta Ospek. Misalnya, bekal resitasi yang mengharuskan membawa makanan yang bermacam-macam dan mahal. Belum juga bekal yang aneh-aneh, seperti kacang tanah berbiji lima, minuman berwarna pelangi, jeruk warna putih, dan sebagainya merupakan upaya yang menyulitkan peserta, khususnya membutuhkan banyak uang.
Potret demikian merupakan cerminan pendidikan yang sangat egois. Karena mahasiswa harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk mengenal lingkungan kampus.
Dengan kata lain, sudah tidak zamannya cara-cara pengajaran dalam pendidikan kita yang diselipi dengan adegan- adegan kekerasan, baik secara fisik, psikis maupun pemerasan ekonomi. Ironisnya, justru cara-cara itulah yang dipakai oleh PT dalam rangka sosialisasi dan pengenalan kampus. Akibatnya kekerasan semakin terlembagakan melalui perayaan Ospek. Bahkan, kekerasan dalam dunia pendidikan menjadi sebuah budaya yang sulit untuk dihapus.
Bagaimana tidak, Ospek dari tahun ke tahun tidak dimungkiri dijadikan sebagai ajang pelampiasan kekerasan dari senior (panitia) terhadap junior (peserta). Sehingga Ospek bermakna sebagai penanaman kekerasan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang lebih tepat untuk itu, Ospek adalah pembalasan dendam atas kekerasan yang penah dialami oleh panitia semasa menjadi peserta di tahun silam. Jadi, sudah cukuplah alasan agar Ospek dihapus dari dunia pendidikan?
Di sisi lain, Ospek merupakan tradisi tahunan PT sangatlah bermanfaat guna menyongsong tahun ajaran baru di PT, sejauh Ospek tidak mengarah kepada aksi kekerasan, peloncoan, dan penggojlokan yang tidak sesuai aturan dan tidak humanis.
Di sini terlihat adanya sebuah absurditas mekanisme pendidikan. Di satu sisi, kekerasan dalam Ospek sangat mengancam mahasiswa baru. Di sisi lain, Ospek adalah proses awal bagi mahasiswa untuk mengenal kampus agar di kemudian hari tidak tersesat dan ”gagap” di kampus sendiri. Terlebih lagi orientasi kampus pada hakikatnya adalah pengenalan proses dan tujuan belajar di kampus secara umum.
Oleh karena itu, untuk menjembatani dilema Ospek yang sedemikian rumit perlu adanya paradigma baru untuk mendapatkan solusi yang tepat (problem solving). Agar pelaksanaan Ospek benar-benar efektif dan tidak merugikan peserta, baik secara fisik, psikis, dan ekonomi.
Walhasil yang perlu dihapuskan adalah kekerasan itu sendiri, bukan meniadakan Ospek. Dengan kata lain, cara-cara Ospek yang bernuansa kekerasan harus diganti dengan cara-cara yang lebih humanis, misalnya alternatif yang lebih fun dan enjoy. Sehingga Ospek dapat dinikmati oleh peserta, bukan dianggap sebagai ”kusta” yang harus dijauhi.
Yang harus dikedepankan dalam Ospek adalah metode penyampaian yang lebih edukatif, mengingat peserta dan panitia pada umumnya adalah insan pendidikan. Juga humanisme merupakan syarat utama agar pelaksanaan Ospek tidak berseberangan dengan norma dan etika yang terkadang melecehkan hak asasi manusia (HAM).
Untuk itu Ospek yang melibatkan peserta dan panitia harus mengadakan kontrak kerja sebelum pelaksanaan di lapangan. Kesepakatan-kesepakatan mengenai mekanisme pelaksanaan, waktu, tempat, dan sebagainya sangat perlu agar Ospek tidak merugikan satu sama lain, khususnya peserta sebagai mahasiswa baru yang masih ”bau kencur” jika berhadap-hadapan dengan masyarakat kampus.
Selama ini kontrak kerja yang semacam itu mungkin belum pernah ditawarkan oleh panitia kepada peserta. Akibatnya pintu penyelewengan dan kesewenang-wenangan peserta sebagai seorang senior sangat terbuka lebar.
Sekali lagi, proses mendewasakan mahasiswa baru yang meliputi kedisiplinan, kemandirian, dan penyadaran diri bahwa peserta adalah seorang mahasiswa sangat tidak tepat jika dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi. Dengan bahasa persuasif, kalau bisa lembut mengapa harus kasar?
Kekerasan sudah seharusnya ditolak dan dibuang jauh-jauh dari dunia kampus. Karena kekerasan hanyalah berbuntut kekerasan pula. Kekerasan dalam Ospek, misalnya, justru membekali mahasiswa dengan emosionalitas, bukan pembekalan intelektualitas, spiritualitas, dan humanitas yang menjadi sarat keselarasan pendidikan. Sehingga mahasiswa cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dan mengedepankan emosi dalam menyelesaikan masalah.
Juga, simbol-simbol senioritas antara panitia dan peserta Ospek sangat tidak perlu untuk ditampakkan. Dan sudah selayaknya istiah senior-yunior dihapus dari dunia kampus. Karena di samping membuka peluang kekerasan, hal itu justru melunturkan integritas intelektual mahasiswa. Karena mahasiswa adalah pemikir dan generasi yang akan membangun bangsa ini, sehingga harus dibekali dengan daya intelektualitas, bukan diajari kekerasan layaknya preman